Pendahuluan
Surabaya adalah kelompok sosial yang bersifat heterogen. Keberagaman ras, etnis, maupun perbedaan pekerjaan menjadikan di kota ini berkembang sebagai metropolitan. Modernitas ini memupuk keberagaman secara kolektif dan kontinyu sehingga memiliki ciri khas (Dr. Achmad Habib,MA:2004).
Kesamaan dalam bentuk perilaku sehari-hari, konsep pemikiran, perspektif terhadap kehidupan, menjadikan masyarakat surabaya muncul loyalitas dan kebanggaan tersendiri. Banyak istilah yang mencerminkan kebanggaan arek surabaya seperti Bonek ataupun umpatan seperti jancok yang dibahas dalam artikel ini.
Jancuk dalam media komunikasi sebagai kosakata, atau lebih tepat jika dikatakan sebagai kata sapaan. Terlepas dari persoalan maknanya, jancuk dapat dipandang sebagai produk budaya dalam bentuk tradisi lisan. Dalam perkembangannya dapat berimplikasi, baik secara langsung, maupun tidak langsung terhadap masyarakat (Teeuw, 1984:65).
“He jancok, yo ‘opo kabare?, sik urip tak awakmu? itulah potongan kalimat sapaan yang juga terdengar di tempat lain misalnya di Jakarta ketika bertemu dengan teman-teman asal surabaya yang kemudian tentunya dilanjutkan dengan bahasa Suroboyoan, menurut budayawan Sabrod D. Marioboro. Sapaan seperti itu lanjutnya tidak akan dianggap sebagai sebuah kata yang kotor melainkan sebuah sapaan keakraban yang memang sangat dipahami dan dekat dengan karakteristik warga Surabaya.
Jancok sebagai pisuhan/umpatan berperan sebagai sarana pemerkuat solidaritas antar masyarakat Surabaya. Jancuk juga merupakan simbol yang mengacu pada karakteristik watak Arek Surabaya yang keras, penuh perlawanan, spontanitas dan egaliter. Namun pada kenyataanya asumsi negatif tetap ‘dibebankan’ pada jancuk yang mempengaruhi perkembangan moralitas arek Surabaya. Persoalan ini lebih bisa dipahami jika diketahui terlebih dahulu, pisuhan, terutama jancuk sendiri jika dipandang dari aspek historis.
Jancok Dalam Sudut Pandang Historis
Jancok dalam kepastian sejarah masih simpang siur. Namun banyak pemerhati sejarah yang menyepakati bahwa pisuhan ini mulai gaul pada jaman post kolonial. menurut Edi Samson, tim 11 Cagar Budaya Surabaya, jancuk berasal dari bahasa Belanda, yakni yantye ook, yang berarti ‘kamu juga’. Kendati demikian, tidak ada sumber tertulis yang membenarkan bahwa pernyataan Edi Samson tersebut adalah sebagai asal-usul dari jancuk sendiri
Kata tersebut seringkali diucapkan dan menjadi kata gaul oleh anak-anak Indo-Belanda sekitar tahun 1930an. Pergeseran pengucapan menjadi jancok itu dilakukan oleh arek surabaya. Hal ini terjadi karena di surabaya terdapat perbedaan kelas yang sangat menonjol antara anak-anak Indo-Belanda dengan anak-anak pribumi. Kata-kata yang sering diucapkan oleh anak-anak Indo-Belanda, salah satunya adalah yantye ook tersebut sering kali dipelesetkan sebagai bahan olokan oleh anak-anak pribumi.
Kata yantye ook sendiri oleh anak-anak pribumi dipelesetkan menjadi yanty-ok, yang secara lisan terdengar [yantcook]. Dalam perkembangannya menjadi kata tersebut menjadi jancuk dan disini mulai muncul pengistilahan yang berbeda-beda dari kata tersebut. Jancok sering dikaitkan dengan dengan seksualitas seperti “jaluk diencok” yaitu minta disetubuhi.
Namun Arek Pelemahan menganggap jancuk sejatinya berasal dari wilayah mereka. jika dilihat dari aspek oral history, anggapan tersebut dapat diterima, mengingat Pelemahan merupakan salah satu kampung tertua di Surabaya. Warga Pelemahan menganggap bahwa jancuk secara etimologi merupakan akronim dari Marijan dan Ngencok. Secara historis mereka menganggap bahwa Marijan, sebagai warga Pelemahan yang gemar berhubungan seksual secara bebas tanpa ikatan pernikahan—dalam bahasa Surabaya disebut ngencok.
Asumsi lain yang mendasarkan jancuk secara etimologis adalah anggapan bahwa jancuk merupakan akronim dari jaran (terj. kuda) dan ngencok. Asumsi inilah yang lebih banyak disepakati oleh masyarakat Surabaya, artinya secara mayoritas, kebanyakan, masyarakat Surabaya menganggap demikian.
Dalam perkembangan yang begitu cepat, kata jancok menjadi populer. jancok menjadi simbol aksen/pengucapan dalam setiap aktifitas Arek Surabaya. Dalam perang kemerdekaan, kata jancok menjadi kata pengobar semanga pejuang selain kata allahu akbar. Coba perhatikan film perjuangan, Surabaya 10 November 1945, jancok dijadikan sebuah ungkapan untuk menumpahkan rasa kesal, kecewa ataupun motifator.
Aroma Seksualitas Dalam Moralitas Bertutur
Dari berbagai asumsi tersebut, dapat ditarik beberapa kesamaan yang dapat memunculkan sebuah identifikasi terhadap jancuk sendiri. Pertama, jancuk merupakan ungkapan atau kata sapaan yang bersifat olok-olok, artinya jancuk digunakan sebagai bahasa untuk mengejek, mengolok-olok. Kedua, munculnya ‘aroma’ seksualitas yang kental dalam jancuk.
Jancuk yang kental unsur seksualitasnya seperti akronim dari jaran dan ngencok. Dapat diuraikan disini bahwa munculnya kata jaran merupakan simbol laki-laki, simbol keperkasaan. Disamping itu, kuda merupakan simbol sikap liar dan tidak terkendali. Menurut estimologi dari asumsi jaran dan ngencok tersebut, dapat ditarik sebuah pengertian eksplisit jaran (kuda) yang sedang bersetubuh. Akan tetapi, menurut Srihono, redaktur majalah Penyebar Semangat, mengatakan bahwa jancuk itu berarti menuk’e jaran sing diencokno, atau bisa diartikan sebagai proses mengawinkan kuda.
Berdasarkan keterangan diatas, dapat ditarik sebuah pemaknaan tentang ‘kuda yang dikawinkan (oleh manusia)’. Hal ini terjadi karena memang secara alamiah, kuda tidak dapat melakukan persetebuhan dengan betinanya dikarenakan kelamin kuda yang terlalu besar. Sifat kuda yang seperti inilah yang kemudian dapat dikorelasikan dengan karakteristik Arek Surabaya. Tak dapat dipungkiri pada tahun 1930an-1940an, arek surabaya dikenal sebagai masyarakat yang berwatak keras, dan egaliter—sifat ini yang diturunkan dan menjadi karateristik masyarakat Surabaya hingga kini.
Jancuk digunakan masyarakat Surabaya dalam proses interaksi sosial mereka. Arek Surabaya menggunakan jancuk ini sebagai pelengkap berbahasa sehari-hari. Pada awalnya, tidak ada yang memaknai jancuk ini sebagai kata yang berkonotasi negatif, sebab seperti yang diungkapkan diatas, bahwa pada hakikatnya jancuk hanyalah merupakan ungkapan yang menandakan suasana keakraban internal kelompok masyarakat Suarabaya sendiri.
Pada dasarnya jancuk merupakan penanda masyarakat Surabaya yang berwatak keras, bahkan terkesan ‘kasar’. Pernyataan tersebut tidaklah salah, sebab memang secara harfiah, jancuk merupakan akronim dari kosakata yang ‘ditabukan’, namun disisi lain masyarakat Surabaya dikenal sebagai masyarakat yang dalam proses interaksi sosial menganut sistem masyarakat yang bersifat egaliter. Sistem masyarakat yang bersifat egaliter adalah sebuah perilaku sosial dalam sebuah proses interaksi sosial yang tidak membeda-bedakan manusia, terutama dalam ruang lingkup kelompok sosialnya sendiri, dalam hal status dan derajat sosialnya (Kellner, 2003: 215)
Hal tersebut sepertinya menguatkan kepercayaan bahwa kata jancok sudah merupakan identitas arek Suroboyo, sekaligus kata salam atau sapaan yang menjadi suatu ungkapan yang mengandung arti kedekatan emosi sesuai dengan karakter arek Soroboyo. Namun demikian baik Sabrod. D Marioboro maupun Edi T. Samson mengatakan dalam penggunaannya harus tetap memperhatikan esensi, situasi, tempat dan kepada siapa kata itu diungkapkan dan ditujukan. Jangan sampai hanya kerena ‘jancok’ terjadi pertumpahan darah yang menumbangkan persatuan yang selama ini dibina.
Surabaya adalah kelompok sosial yang bersifat heterogen. Keberagaman ras, etnis, maupun perbedaan pekerjaan menjadikan di kota ini berkembang sebagai metropolitan. Modernitas ini memupuk keberagaman secara kolektif dan kontinyu sehingga memiliki ciri khas (Dr. Achmad Habib,MA:2004).
Kesamaan dalam bentuk perilaku sehari-hari, konsep pemikiran, perspektif terhadap kehidupan, menjadikan masyarakat surabaya muncul loyalitas dan kebanggaan tersendiri. Banyak istilah yang mencerminkan kebanggaan arek surabaya seperti Bonek ataupun umpatan seperti jancok yang dibahas dalam artikel ini.
Jancuk dalam media komunikasi sebagai kosakata, atau lebih tepat jika dikatakan sebagai kata sapaan. Terlepas dari persoalan maknanya, jancuk dapat dipandang sebagai produk budaya dalam bentuk tradisi lisan. Dalam perkembangannya dapat berimplikasi, baik secara langsung, maupun tidak langsung terhadap masyarakat (Teeuw, 1984:65).
“He jancok, yo ‘opo kabare?, sik urip tak awakmu? itulah potongan kalimat sapaan yang juga terdengar di tempat lain misalnya di Jakarta ketika bertemu dengan teman-teman asal surabaya yang kemudian tentunya dilanjutkan dengan bahasa Suroboyoan, menurut budayawan Sabrod D. Marioboro. Sapaan seperti itu lanjutnya tidak akan dianggap sebagai sebuah kata yang kotor melainkan sebuah sapaan keakraban yang memang sangat dipahami dan dekat dengan karakteristik warga Surabaya.
Jancok sebagai pisuhan/umpatan berperan sebagai sarana pemerkuat solidaritas antar masyarakat Surabaya. Jancuk juga merupakan simbol yang mengacu pada karakteristik watak Arek Surabaya yang keras, penuh perlawanan, spontanitas dan egaliter. Namun pada kenyataanya asumsi negatif tetap ‘dibebankan’ pada jancuk yang mempengaruhi perkembangan moralitas arek Surabaya. Persoalan ini lebih bisa dipahami jika diketahui terlebih dahulu, pisuhan, terutama jancuk sendiri jika dipandang dari aspek historis.
Jancok Dalam Sudut Pandang Historis
Jancok dalam kepastian sejarah masih simpang siur. Namun banyak pemerhati sejarah yang menyepakati bahwa pisuhan ini mulai gaul pada jaman post kolonial. menurut Edi Samson, tim 11 Cagar Budaya Surabaya, jancuk berasal dari bahasa Belanda, yakni yantye ook, yang berarti ‘kamu juga’. Kendati demikian, tidak ada sumber tertulis yang membenarkan bahwa pernyataan Edi Samson tersebut adalah sebagai asal-usul dari jancuk sendiri
Kata tersebut seringkali diucapkan dan menjadi kata gaul oleh anak-anak Indo-Belanda sekitar tahun 1930an. Pergeseran pengucapan menjadi jancok itu dilakukan oleh arek surabaya. Hal ini terjadi karena di surabaya terdapat perbedaan kelas yang sangat menonjol antara anak-anak Indo-Belanda dengan anak-anak pribumi. Kata-kata yang sering diucapkan oleh anak-anak Indo-Belanda, salah satunya adalah yantye ook tersebut sering kali dipelesetkan sebagai bahan olokan oleh anak-anak pribumi.
Kata yantye ook sendiri oleh anak-anak pribumi dipelesetkan menjadi yanty-ok, yang secara lisan terdengar [yantcook]. Dalam perkembangannya menjadi kata tersebut menjadi jancuk dan disini mulai muncul pengistilahan yang berbeda-beda dari kata tersebut. Jancok sering dikaitkan dengan dengan seksualitas seperti “jaluk diencok” yaitu minta disetubuhi.
Namun Arek Pelemahan menganggap jancuk sejatinya berasal dari wilayah mereka. jika dilihat dari aspek oral history, anggapan tersebut dapat diterima, mengingat Pelemahan merupakan salah satu kampung tertua di Surabaya. Warga Pelemahan menganggap bahwa jancuk secara etimologi merupakan akronim dari Marijan dan Ngencok. Secara historis mereka menganggap bahwa Marijan, sebagai warga Pelemahan yang gemar berhubungan seksual secara bebas tanpa ikatan pernikahan—dalam bahasa Surabaya disebut ngencok.
Asumsi lain yang mendasarkan jancuk secara etimologis adalah anggapan bahwa jancuk merupakan akronim dari jaran (terj. kuda) dan ngencok. Asumsi inilah yang lebih banyak disepakati oleh masyarakat Surabaya, artinya secara mayoritas, kebanyakan, masyarakat Surabaya menganggap demikian.
Dalam perkembangan yang begitu cepat, kata jancok menjadi populer. jancok menjadi simbol aksen/pengucapan dalam setiap aktifitas Arek Surabaya. Dalam perang kemerdekaan, kata jancok menjadi kata pengobar semanga pejuang selain kata allahu akbar. Coba perhatikan film perjuangan, Surabaya 10 November 1945, jancok dijadikan sebuah ungkapan untuk menumpahkan rasa kesal, kecewa ataupun motifator.
Aroma Seksualitas Dalam Moralitas Bertutur
Dari berbagai asumsi tersebut, dapat ditarik beberapa kesamaan yang dapat memunculkan sebuah identifikasi terhadap jancuk sendiri. Pertama, jancuk merupakan ungkapan atau kata sapaan yang bersifat olok-olok, artinya jancuk digunakan sebagai bahasa untuk mengejek, mengolok-olok. Kedua, munculnya ‘aroma’ seksualitas yang kental dalam jancuk.
Jancuk yang kental unsur seksualitasnya seperti akronim dari jaran dan ngencok. Dapat diuraikan disini bahwa munculnya kata jaran merupakan simbol laki-laki, simbol keperkasaan. Disamping itu, kuda merupakan simbol sikap liar dan tidak terkendali. Menurut estimologi dari asumsi jaran dan ngencok tersebut, dapat ditarik sebuah pengertian eksplisit jaran (kuda) yang sedang bersetubuh. Akan tetapi, menurut Srihono, redaktur majalah Penyebar Semangat, mengatakan bahwa jancuk itu berarti menuk’e jaran sing diencokno, atau bisa diartikan sebagai proses mengawinkan kuda.
Berdasarkan keterangan diatas, dapat ditarik sebuah pemaknaan tentang ‘kuda yang dikawinkan (oleh manusia)’. Hal ini terjadi karena memang secara alamiah, kuda tidak dapat melakukan persetebuhan dengan betinanya dikarenakan kelamin kuda yang terlalu besar. Sifat kuda yang seperti inilah yang kemudian dapat dikorelasikan dengan karakteristik Arek Surabaya. Tak dapat dipungkiri pada tahun 1930an-1940an, arek surabaya dikenal sebagai masyarakat yang berwatak keras, dan egaliter—sifat ini yang diturunkan dan menjadi karateristik masyarakat Surabaya hingga kini.
Jancuk digunakan masyarakat Surabaya dalam proses interaksi sosial mereka. Arek Surabaya menggunakan jancuk ini sebagai pelengkap berbahasa sehari-hari. Pada awalnya, tidak ada yang memaknai jancuk ini sebagai kata yang berkonotasi negatif, sebab seperti yang diungkapkan diatas, bahwa pada hakikatnya jancuk hanyalah merupakan ungkapan yang menandakan suasana keakraban internal kelompok masyarakat Suarabaya sendiri.
Pada dasarnya jancuk merupakan penanda masyarakat Surabaya yang berwatak keras, bahkan terkesan ‘kasar’. Pernyataan tersebut tidaklah salah, sebab memang secara harfiah, jancuk merupakan akronim dari kosakata yang ‘ditabukan’, namun disisi lain masyarakat Surabaya dikenal sebagai masyarakat yang dalam proses interaksi sosial menganut sistem masyarakat yang bersifat egaliter. Sistem masyarakat yang bersifat egaliter adalah sebuah perilaku sosial dalam sebuah proses interaksi sosial yang tidak membeda-bedakan manusia, terutama dalam ruang lingkup kelompok sosialnya sendiri, dalam hal status dan derajat sosialnya (Kellner, 2003: 215)
Hal tersebut sepertinya menguatkan kepercayaan bahwa kata jancok sudah merupakan identitas arek Suroboyo, sekaligus kata salam atau sapaan yang menjadi suatu ungkapan yang mengandung arti kedekatan emosi sesuai dengan karakter arek Soroboyo. Namun demikian baik Sabrod. D Marioboro maupun Edi T. Samson mengatakan dalam penggunaannya harus tetap memperhatikan esensi, situasi, tempat dan kepada siapa kata itu diungkapkan dan ditujukan. Jangan sampai hanya kerena ‘jancok’ terjadi pertumpahan darah yang menumbangkan persatuan yang selama ini dibina.
0 komentar:
Posting Komentar