Masyarakat asli Surabaya adalah manusia yang aneh. Ketika kita berjalan – berjalan dikota lain, penduduk setempat kota tersebut dengan cepat mengindentifikasi identitas kita bahwa kita berasal dari Surabaya. Hal ini diketahui dari struktrur bahasa yang kita ucapkan. Dialek Suroboyoan yang khas ini teridentifikasi dari gaya bahasa yang diucapkan dengan keras, kasar, ceplas - ceplos atau apa adanya. Dan memang itu benar, inilah yang menjadi salah satu karakteristik masyarakat Surabaya.
Karakteristik masyarakat Surabaya terkenal dengan sifatnya yang keras, kosmopolitan, berfikir bebas dan tidak mau dijajah, cepat mempertahankan diri, setia kawan, gotong royong, berani dan pantang menyerah. Waktu penjajahan jaman belanda arek – arek Surabaya lebih senang bekerja dibengkel atau menjadi tukang tambal ban dari pada kerja dikantor hanya untuk menjadi jongos kompeni.”ujar cak kadar ketua yayasan Putra Surabaya. Selain itu dapat kita ketahui dari pengambilan nama “Surabaya” dan hari jadi kota Surabaya yang diperingati setiap tanggal “31 Mei”.
Surabaya berasal dari kata Suro dan Boyo artinya ikan paus dan buaya tapi yang lebih menggambarkan karakteristik masyarakat Surabaya yaitu Suro Ing Bhaya yang mempunyai makna keberanian menghadapi bahaya. Nama Surabaya sebelumnya yaitu Ujung galuh tapi nama Surabaya mulai terdengar pada abad 14 Masehi melalui serat Negarakertagama dan Piagam Tambangan (1358 M) yang banyak bercerita tentang kota ini.
Hari jadi kota Surabaya sebelunya diperingati pada tanggal 1 April sampai dengan tahun 1973 tapi setelah itu terjadi peninjauan ulang tentang tanggal tersebut dan akhirnya ditetapkan pada tanggal 31 Mei. Hal ini karena pada tanggal 31 Mei 1293 M, Raden Wijaya beerhasil menaklukkan pasukan mongol di Ujung Galuh. Bagi rakyat Ujung galuh merupakan hari pembebasan dari cengkraman tentara asing (Tartar) yang dalam perkembangannya membawa pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan sejarah selanjutnya. Dan pada waktu itu juga sebenarnya telah bersemi jiwa merdeka dan tak mau dijajah dalam diri rakyat ujung galuh.
Menurut William H. Frederick dalam bukunya yang berjudul Pandangan dan Gejolak “Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946)” karakteristrik keras dan kasar masyarakat Surabaya tidak terlepas dari Surabaya sendiri yang merupakan sebuah daerah persimpangan dan persinggahan yang terbentuk dari berbagai macam etnis. Mereka harus menjadi etnis yang keras dan kasar sebagai manusia pendatang karena untuk dapat bertahan hidup dari kondisi geografis yang sulit ditebak dan kadang kala ada serbuan dari kerajaan yang ada di wilayah pedalaman. Apalagi di Surabaya tingkat kompetisi hidup tinggi dan di masyarakat level bawah sering terjadi pertarungan fisik. Jadi para urbanis yang lolos seleksi alam tersebut kemudian muncul menjadi masyarakat Surabaya yang pilihan atau manusia nekat. Dan dalam kondisi kejiwaan seperti inilah yang juga membentuk karakteristik masyarakat Surabaya yang keras dan kasar.
Karakteristik tersebut selalu identik dengan masyarakat Surabaya level bawah. Apakah memang benar yang dimaksud masyarakat asli Surabaya hanya masyarakat yang berasal dari level bawah strata masyarakat yang ada di Surabaya ?. Pada tahun 1835, Belanda mengubah struktur letak kota Surabaya yaitu dengan melakukan pendataan ulang penduduk Surabaya yang cukup padat pada waktu itu. Semua orang Jawa, Madura, Bugis dan orang Indonesia lainnya yang telah menjadi bagian dari arek – arek Surabaya dipaksa pindah jika tempat tinggal mereka masuk dalam target pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah belanda. Belanda menginginkan pembangunan kota bergaya eropa seperti adanya jembatan – jembatan, kanal – kanal, jalan beraspal maupun bangunan bertembok. Jadi dengan pembangunan ini ciri khas kota yang menggambarkan identitas kota – kota di wilayah Asia Tenggara telah hilang.
Sementara tempat – tempat tersebut yang berada dipusat kota dicadangkan bagi keberadaan orang – orang Eropa, Cina maupun sebagian kecil orang kristen Indonesia. Sedang penduduk Surabaya yang tergusur tersebut bergeser ke wilayah yang berada di belakang kawasan – kawasan elite di Surabaya. Daerah tersebut sempit seperti lorong – lorong tikus diantara gedung – gedung megah. Walau demikian mereka tetap membangun kembali kawasan tersebut dengan disesuaikan oleh arus pendatang baru.
Di daerah tersebut, masyarakat Surabaya tetap melakukan aktivitasnya dan kebencian terhadap penjajah belanda semakin besar. Mereka mengeklusifkan diri dari pemerintahan belanda dan sekali – kali melakukan perlawanan. Pemerintah sulit sekali menyentuh daerah tersebut baik itu untuk pendataan ataupun mengetahui kegiatannya. Dan disinilah tempat yang sering disebut dengan kampung itu mulai dibangun karakteristik yang khas dari masyarakat Surabaya.
Karakteristik masyarakat Surabaya terkenal dengan sifatnya yang keras, kosmopolitan, berfikir bebas dan tidak mau dijajah, cepat mempertahankan diri, setia kawan, gotong royong, berani dan pantang menyerah. Waktu penjajahan jaman belanda arek – arek Surabaya lebih senang bekerja dibengkel atau menjadi tukang tambal ban dari pada kerja dikantor hanya untuk menjadi jongos kompeni.”ujar cak kadar ketua yayasan Putra Surabaya. Selain itu dapat kita ketahui dari pengambilan nama “Surabaya” dan hari jadi kota Surabaya yang diperingati setiap tanggal “31 Mei”.
Surabaya berasal dari kata Suro dan Boyo artinya ikan paus dan buaya tapi yang lebih menggambarkan karakteristik masyarakat Surabaya yaitu Suro Ing Bhaya yang mempunyai makna keberanian menghadapi bahaya. Nama Surabaya sebelumnya yaitu Ujung galuh tapi nama Surabaya mulai terdengar pada abad 14 Masehi melalui serat Negarakertagama dan Piagam Tambangan (1358 M) yang banyak bercerita tentang kota ini.
Hari jadi kota Surabaya sebelunya diperingati pada tanggal 1 April sampai dengan tahun 1973 tapi setelah itu terjadi peninjauan ulang tentang tanggal tersebut dan akhirnya ditetapkan pada tanggal 31 Mei. Hal ini karena pada tanggal 31 Mei 1293 M, Raden Wijaya beerhasil menaklukkan pasukan mongol di Ujung Galuh. Bagi rakyat Ujung galuh merupakan hari pembebasan dari cengkraman tentara asing (Tartar) yang dalam perkembangannya membawa pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan sejarah selanjutnya. Dan pada waktu itu juga sebenarnya telah bersemi jiwa merdeka dan tak mau dijajah dalam diri rakyat ujung galuh.
Menurut William H. Frederick dalam bukunya yang berjudul Pandangan dan Gejolak “Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946)” karakteristrik keras dan kasar masyarakat Surabaya tidak terlepas dari Surabaya sendiri yang merupakan sebuah daerah persimpangan dan persinggahan yang terbentuk dari berbagai macam etnis. Mereka harus menjadi etnis yang keras dan kasar sebagai manusia pendatang karena untuk dapat bertahan hidup dari kondisi geografis yang sulit ditebak dan kadang kala ada serbuan dari kerajaan yang ada di wilayah pedalaman. Apalagi di Surabaya tingkat kompetisi hidup tinggi dan di masyarakat level bawah sering terjadi pertarungan fisik. Jadi para urbanis yang lolos seleksi alam tersebut kemudian muncul menjadi masyarakat Surabaya yang pilihan atau manusia nekat. Dan dalam kondisi kejiwaan seperti inilah yang juga membentuk karakteristik masyarakat Surabaya yang keras dan kasar.
Karakteristik tersebut selalu identik dengan masyarakat Surabaya level bawah. Apakah memang benar yang dimaksud masyarakat asli Surabaya hanya masyarakat yang berasal dari level bawah strata masyarakat yang ada di Surabaya ?. Pada tahun 1835, Belanda mengubah struktur letak kota Surabaya yaitu dengan melakukan pendataan ulang penduduk Surabaya yang cukup padat pada waktu itu. Semua orang Jawa, Madura, Bugis dan orang Indonesia lainnya yang telah menjadi bagian dari arek – arek Surabaya dipaksa pindah jika tempat tinggal mereka masuk dalam target pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah belanda. Belanda menginginkan pembangunan kota bergaya eropa seperti adanya jembatan – jembatan, kanal – kanal, jalan beraspal maupun bangunan bertembok. Jadi dengan pembangunan ini ciri khas kota yang menggambarkan identitas kota – kota di wilayah Asia Tenggara telah hilang.
Sementara tempat – tempat tersebut yang berada dipusat kota dicadangkan bagi keberadaan orang – orang Eropa, Cina maupun sebagian kecil orang kristen Indonesia. Sedang penduduk Surabaya yang tergusur tersebut bergeser ke wilayah yang berada di belakang kawasan – kawasan elite di Surabaya. Daerah tersebut sempit seperti lorong – lorong tikus diantara gedung – gedung megah. Walau demikian mereka tetap membangun kembali kawasan tersebut dengan disesuaikan oleh arus pendatang baru.
Di daerah tersebut, masyarakat Surabaya tetap melakukan aktivitasnya dan kebencian terhadap penjajah belanda semakin besar. Mereka mengeklusifkan diri dari pemerintahan belanda dan sekali – kali melakukan perlawanan. Pemerintah sulit sekali menyentuh daerah tersebut baik itu untuk pendataan ataupun mengetahui kegiatannya. Dan disinilah tempat yang sering disebut dengan kampung itu mulai dibangun karakteristik yang khas dari masyarakat Surabaya.
1 komentar:
mantap jiwa
Posting Komentar